sekitar pukul 7 malam.
ya seperti biasanya, aku pulang lebih larut setiap hari jum'at, karena harus mengikuti kuliah di jam ke-5.
aku pulang naik metromini menuju rumah, aku duduk didekat kaca mobil.
rintik hujan malam itu melengkapi suasana gundah yang ku rasa.
dari balik kaca aku melihat pemandangan yang tak asing, tapi selalu menarik untukku.
ya, ramainya jakarta, lalu lalang kendaraan, lampu-lampu yang saling berpautan, pedagang-pedagang yang tak henti mengais rejeki, wajah-wajah muram pesisir kota, dan segalanya tentang Jakarta malam.
ya, sederhana namun penuh makna.
suasana ini kembali mengingatkanku pada tokoh-tokoh fiktif ciptaanku, Matahari dan Bintang Pemalu.
cerita yang amat klasik, namun tak pernah ada solusi terbijak untuk mengatasinya, cinta beda agama.
Aku ingin membuat akhir yang berbeda dengan cerita-cerita yang biasanya, aku sudah menemukannya,
namun aneh, setiap saat jemariku ingin memulai mengetik satu demi satu huruf, menciptakan kata-kata sederhana, aku tak bisa. aku tak tega membuat akhir yang tragis untuk cerita ini, aku tak pernah tega membuat sang Bintang Pemalu terjatuh ke permukaan bumi, atau bahkan terperosok ke dalam Blackhole. Begitupun dengan Matahari, aku tak tega membuat suatu gerhana atau lebih parahnya suatu Badai Matahari. Lalu aku memutuskan untuk menghadirkan sosok Bulan untuk sang Bintang Pemalu. karena sejatinya malam akan selalu mengijinkan Bulan bersandingan dengan Bintang.
Tapi entah mengapa, aku tak pernah memiliki kesempatan untuk menuangkan itu semua kedalam lanjutan ceritaku, waktu bergulir lebih cepat, berlomba-lomba dengan kegiatanku yang semakin padat, yah, hingga akhirnya cerita itu tetap menjadi misteri.
ya seperti biasanya, aku pulang lebih larut setiap hari jum'at, karena harus mengikuti kuliah di jam ke-5.
aku pulang naik metromini menuju rumah, aku duduk didekat kaca mobil.
rintik hujan malam itu melengkapi suasana gundah yang ku rasa.
dari balik kaca aku melihat pemandangan yang tak asing, tapi selalu menarik untukku.
ya, ramainya jakarta, lalu lalang kendaraan, lampu-lampu yang saling berpautan, pedagang-pedagang yang tak henti mengais rejeki, wajah-wajah muram pesisir kota, dan segalanya tentang Jakarta malam.
ya, sederhana namun penuh makna.
suasana ini kembali mengingatkanku pada tokoh-tokoh fiktif ciptaanku, Matahari dan Bintang Pemalu.
cerita yang amat klasik, namun tak pernah ada solusi terbijak untuk mengatasinya, cinta beda agama.
Aku ingin membuat akhir yang berbeda dengan cerita-cerita yang biasanya, aku sudah menemukannya,
namun aneh, setiap saat jemariku ingin memulai mengetik satu demi satu huruf, menciptakan kata-kata sederhana, aku tak bisa. aku tak tega membuat akhir yang tragis untuk cerita ini, aku tak pernah tega membuat sang Bintang Pemalu terjatuh ke permukaan bumi, atau bahkan terperosok ke dalam Blackhole. Begitupun dengan Matahari, aku tak tega membuat suatu gerhana atau lebih parahnya suatu Badai Matahari. Lalu aku memutuskan untuk menghadirkan sosok Bulan untuk sang Bintang Pemalu. karena sejatinya malam akan selalu mengijinkan Bulan bersandingan dengan Bintang.
Tapi entah mengapa, aku tak pernah memiliki kesempatan untuk menuangkan itu semua kedalam lanjutan ceritaku, waktu bergulir lebih cepat, berlomba-lomba dengan kegiatanku yang semakin padat, yah, hingga akhirnya cerita itu tetap menjadi misteri.
0 komentar:
Posting Komentar